Jumat, 29 Januari 2010

Asas Transaksi Bisnis Syariah Dalam DBS

Bisnis Jaringan DBS bukan sistem transaksi Fasid

image

Oleh : Dr. Ija Suntana, M.Ag

(Pakar Politik Ekonomi Islam, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan GUnung Djati Bandung)

Pengertian asas dalam tulisan ini adalah landasan dasar teori dan hukum transaksi. Adapun transaksi bisnis syariah adalah hubungan antar perorangan atau para pihak menyangkut harta, baik perikatan atau jual beli, yang sesuai dengan tataatur hukum Islam. Asas-asas transaksi bisnis Syariah dapat mengukur halal atau tidaknya suatu aktivitas bisnis. Asas-asas bisnis syariah merupakan alat ukur sah atau tidaknya suatu transaksi. Bila suatu aktivitas bisnis berdiri di atas asas-asas tersebut, maka dikatakan sebagai bisnis yang sah dan halal. Sedangkan, bila tidak demikian, maka dikatakan sebagai bisnis fasid (cacat hukum) dan haram.

Asas-Asas Transaksi Syariah
1. Tabaddul al-Manafi (Manfaat Bersama)
Tabaddul Al-Manafi' mengandung arti bahwa setiap bentuk transaksi ekonomi harus memberikan keuntungan bersama bagi para pihak yang terlibat. Asas ini mengeleminasi kegiatan perjudian (maisir) yang hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Asas ini mengharuskan terjadinya kerjasama antarindividu atau pihak-pihak dalam suatu jaringan bisnis untuk saling topang dalam meraih keuntungan. Seorang upline bertanggung jawab terhadap keberhasilan downline-nya dan juga downline berkewajiban menopang keberlanjutan upline-nya, sehingga akan tercipta manfaat bersama di antara kedua belah pihak. Asas manfaat bersama (tabadul al-manafi') menantang suatu tindakan setiap pelaku bisnis agar mendorong mitranya mau berbuat yang terbaik dengan bekerja keras, ulet, dan disiplin. Ada dua upaya yang harus dilakukan dalam melakukan hal tersebut, yaitu (1) mendorong motivasi, (2) memberikan pelatihan. Motivasi individu terkait secara erat dengan ideologi, target, dan tujuan hidupnya. Sementara itu, tidak mungkin memotivasi individu untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya dan orang lain tanpa adanya suatu kemampuan mumpuni tentang hal demikian. Untuk itu, setiap individu harus diberi keprigelan atau kecapakan melalui pelatihan yang berbobot dan efektif. Dan, memotivasi individu untuk melakukan yang terbaik harus dibarengi dengan jaminan bahwa kepentingan pribadi mereka terpenuhi dan prestasi mereka akan dihargai dengan fee-fee tertentu yang memuaskan.

2. Al-Tadâwul (Pemerataan)
Pada tingkat makro, asas ini menghendaki agar agar harta berputar secara merata di antara masyarakat, baik yang kaya maupun yang miskin, sehingga tidak terjadi pemusatan kekayaan. Pada tingkat mikro-sebagai contoh dalam suatu bisnis jaringan-asas pemerataan (al-tadawul) mengandung arti bahwa keuntungan tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang, melainkan terdistribusikan secara merata di antara para pihak yang terlibat, baik upline maupun downline. Pemerataan harus dibangun dengan sebuah sistem aplikatif yang secara otomatis mengurai pemusatan keuntungan di tingkat atas-tidak merembas ke tingkat bawah-baik dalam bentuk keuntungan prosentase, subsidi, atau bentuk lainnya yang mengandung makna pemerataan.

3. 'An Taradhin (Suka Sama Suka)
Asas suka sama suka ('an taradhin) mengandung arti bahwa setiap bentuk aktivitas bisnis, baik antaraindividu atau antarpihak, harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan yang dimaksud di sini adalah baik kerelaan menerima atau menyerahkan kekayaan yang dijadikan objek transaksi. Suka sama suka bukan berdasarkan nilai subjektivitas pelaku, melainkan didasarkan pada objektivitas keuntungan yang terdapat di dalam suatu transaksi. Bisa saja seseorang ikut suatu aktivitas bisnis, karena orang yang mengajaknya adalah suami atau isterinya, sekalipun dia mengetahui bahwa di dalamnya terdapat kerugian terhadap kekayaannya. Dengan demikian, kerelaan ('an taradhin) harus didukung oleh motif keuntungan bersama, bukan motif ikatan emosional.

4. 'Adamul Gharar (Bebas Tipu Daya)

Asas bebas tipu daya ('adamul gharar) mengandung arti bahwa setiap aktivitas bisnis tidak mengandung jebakan yang menyebabkan salah satu pihak merasa rugi dan hilangnya unsur kerelaan. Asas bebas tipu daya mengharuskan pelaku transaksi bisnis menjelaskan unsur keuntungan dan kerugian yang akan dihadapi bersama. Pelaku transaksi tidak boleh menutup-nutupi potensi kerugian dan menyembunyikan potensi keuntungan kepada mitra bisnisnya. Asas bebas tipu daya menghendaki agar mitra transaksi disadarkan bahwa dalam aktivitas apapun pasti ada masalah yang perlu dipecahkan dan bisa diatasi. Asas bebas tipu daya mengandung arti juga bahwa suatu transaksi bisnis harus memiliki objek yang jelas dan kasat mata, bukan transaksi tanpa objek (benda) atau memperjualbelikan alat tukar. Dengan demikian, dalam syariat Islam tidak dihalalkan menjualbelikan alat tukar (seperti uang) dalam bentuk renten.

5. Faktubûh (Ketercatatan)
Asas ketercatatan (faktubûh) mengandung arti bahwa suatu transaksi bisnis harus memiliki dokumen yang jelas dan valid. Asas ketercatatan menghendaki agar data-data para pelaku transaksi terketahui oleh semua pihak. Asas ketercatatan melarang transaksi gelap yang tidak memiliki dasar-dasar dokumen yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Bila berhubungan dengan suatu badan usaha, pastikan bahwa badan tersebut memiliki data-data yang valid dan diakui secara legal oleh negara. Asas ini merupakan jaminan agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat ketidakjelasan data para pihak. Asas ini diambil dari salah satu ayat Al-Quran yang menyebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertransaksi tidak tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya," (QS Al-Baqarah [2]: 282).


Menakar Kehalalan Bisnis Jaringan DBS
Analisis Selayang Pandang


Untuk menilai halal atau tidaknya bisnis sistem jaringan yang diselenggarakan oleh PT. Duta Business School yang memasarkan produk-produk dari PT. Duta Future International (DFI) dapat ditakar dengan lima asas transaksi syariah di atas. DBS merupakan badan usaha yang memiliki legalitas. Hal ini terbukti dengan keberadaan DBS yang memiliki SIUP, TDP, NPWP, dan SK Menteri Hukum dan HAM. Sementara itu, para pihak yang terlibat di dalamnya, mulai dari owner hingga members, terdata secara jelas dan valid. Dilihat dari asas ketercatatan (faktubûh), DBS merupakan badan usaha yang legal dan bukan lembaga yang menyelenggarakan aktivitas gelap. Dalam hal ini akvititas bisnis DBS telah berdiri di atas asas ketercatatan (faktubûh).
Dilihat dari asas tabaddul al-manafi', setiap bentuk transaksi di DBS memberikan keuntungan bersama bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, baik bagi member maupun bagi owner perusahaan. Bisnis DBS bukan aktivitas perjudian (maisir) yang hanya menguntungkan pihak pemilik perusahaan dan merugikan pihak member. Di dalam jaringan bisnis DBS telah terjadi kerjasama antarindividu atau para pihak yang saling topang dalam meraih keuntungan. Para upline di DBS selalu mengusahakan keberhasilan downline-nya, juga para downline-nya menopang keberlanjutan upline-nya, sehingga di dalamnya tercipta manfaat bersama (tabadul al-manafi') di antara para pihak.
Dilihat dari asas pemerataan (al-tadawul), keuntungan di DBS tidak hanya dirasakan oleh segelintir upline, melainkan terdistribusikan juga secara merata di antara para downline. Pemerataan ini telah terbangun dengan sebuah sistem aplikatif yang secara otomatis merembaskan keuntungan kepada semua pihak, yaitu melaui sistem subsidi, baik subsidi franchise maupun subsidi royalty.
Dilihat dari asas suka sama suka ('an taradhin), setiap jenis transaksi di DBS, telah dilakukan secara suka sama suka atau berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan dalam DBS tercermin dalam hal keanggotaan yang tidak dipaksa dan penyerahan sejumlah uang yang disepakati oleh para member. Suka sama suka di DBS tidak didasarkan pada nilai subjektivitas pelaku, melainkan didasarkan pada objektivitas keuntungan yang terdapat di dalam bisnis jaringan yang dibangun.
Dilihat dari asas bebas tipu daya ('adamul gharar), sistem bisnis jaringan DBS tidak mengandung jebakan yang menyebabkan salah satu pihak merasa rugi dan hilangnya unsur kerelaan. DBS secara clear menjelaskan unsur keuntungan dan resiko yang akan dihadapi bersama. DBS tidak menyembunyikan potensi keuntungan kepada para membernya dan menutup-nutupi resiko yang akan dihadapi. DBS secara tegas menyadarkan bahwa dalam aktivitas apapun pasti ada masalah yang perlu dipecahkan dan bisa diatasi. Dalam hal objek, DBS tidak mentransaksikan kegiatan tanpa objek dan tidak memperjualbelikan alat tukar (uang). DBS mentransaksikan keagenan pulsa dan lisensi hak usaha kepada para member untuk menggunakannya sebagai wahana berbisnis melalui jaringan DBS.
Bila ditakar dengan lima asas di atas, bisnis jaringan DBS telah memenuhi asas-asas transaksi syariah. Dengan demikian, bisnis sistem jaringan DBS telah memenuhi unsur kehalalan dan bukan sistem transaksi yang cacat hukum (fasid).
(lebih lengkap di Tabloid-DBS versi cetak edisi IV Milad DFI ke 2)